Budaya Antri vs Budaya Berebut

Standart ideal Budaya Antri vs Budaya Berebut adalah 100% vs 0%.
Berapakah kondisi aktualnya di negeri ini?
70% - 30%? 50% - 50%? atau 30% - 70%?
Tidaklah mengejutkan jika ternyata kondisi aktualnya jauh lebih parah.

Berebut bukanlah hal yang langka di sini.
Tidak peduli dari golongan kasta apa. Baik kaya maupun miskin, tua maupun muda, laki perempuan, yang alim maupun yang tidak alim, orang penting maupun yang nggak penting, dan seterusnya. Semuanya, jika mendapat kesempatan untuk tidak antri, pasti akan memanfaatkannya. Tak peduli dengan orang lain yang antri. Tak baik menolak rejeki katanya.

Yang kaya mengandalkan kekayaannya. Yang tua memanfaatkan ketuaannya. Yang kuat menggunakan kekuatannya, dan seterusnya. Bahkan yang miskin menonjolkan kemiskinannya.

Kenapa orang berebut?
Pada awalnya pasti karena adanya suatu kebutuhan, dan yang dibutuhkan itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang membutuhkan.
Dengan kata lain biasanya yang berebut adalah orang yang tidak punya alias orang miskin alias kere.

Pada perkembangannya ternyata bukan hanya orang miskin yang suka berebut. Orang-orang yang menganggap dirinya terhormatpun banyak yang melakukannya. Jelas ini bukanlah karena kebutuhan tetapi karena serakah. Jelas mereka bukan orang miskin, tapi mental merekalah yang miskin. Mereka adalah orang-orang yang bermental kere. Orang miskin bermental kere adalah normal. Orang terhormat bermental kere, jelas abnormal.

Dan budaya berebut atau mental kere ini terus berjangkit ke semua orang, termasuk kita sendiri, dan ke semua sektor vertikal maupun horizontal. Bahkan sampai ke jalan-jalan raya. Sudah umum kalau orang saling berebut jalan. Padahal jalan tersebut toh nggak akan habis jika dibagi untuk semua orang. Mereka menikmati emosi berebut dan ingin merasakan kemenangan semu.
Ya maklumlah, namanya juga mental kere...